English French German Spain Italian Dutch Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Kamis, 31 Maret 2011

Penerapan Metode Isotop dan Geokimia Dalam Panas Bumi

Metode isotop dan geokimia memiliki peran penting dalam eksplorasi dan eksploitasi energi panasbumi serta pengembangannya. Metode geokimia menyediakan berbagai informasi penting antara lain sifat kimia fluida reservoir, temperatur reservoir, rasio uap – air (fraksi uap) dalam reservoir, kesetimbangan mineral serta potensi korosi dan scaling. Pada lapangan panasbumi yang telah beroperasi, monitoring geokimia merupakan metode yang sangat penting untuk memantau respon reservoir terhadap produksi.
Dalam tahap eksplorasi energi panasbumi, metode isotop dan geokimia dapat dimanfaatkan untuk:
· Memperkirakan temperatur bawah permukaan (reservoir) dengan penggunaan geotermometer kimia dan isotop.
·     Mengidentifikasi sumber fluida panasbumi dengan penggunaan metode isotop alam.

Dalam tahap pengeboran sumur produksi, metode geokimia dan isotop bermanfaat untuk memperoleh informasi :
· Level (kedalaman) akuifer yang produktif dan temperaturnya.
· Perbandingan air dan uap air (steam fraction) dalam reservoir.
· Menilai kualitas air dan uap air dalam hubungannya dengan produksi dan lingkungan.
· Memperkirakan kecenderungan deposisi (scaling), baik dalam sumur produksi, sumur 
  reinjeksi, maupun peralatan produksi di permukaan.

Dalam tahapan eksploitasi dan produksi, studi pemantauan geokimia difokuskan pada komposisi fluida sumur produksi yang telah mengalami berbagai proses seperti pendidihan dan pencampuran dalam reservoir. Secara prinsip, studi tersebut digunakan untuk:
· Mengidentifikasi masukan fluida dari air tanah dangkal yang dingin maupun dari masukan 
  fluida panas dari sumber yang lebih dalam.
· Memantau proses pendidihan dalam akuifer produktif.
· Mengidentifikasi perubahan kontribusi akuifer produktif terhadap keluaran sumur.
· Mengkuantifikasi perubahan dalam kecenderungan scaling.
· Mengkuantifikasi perubahan kualitas air dan uap.
· Merevisi model konseptual reservoir.
Selengkapnya: Penerapan Metode Isotop dan Geokimia Dalam Panas Bumi

Sifat Kelistrikan Batuan

Geolistrik merupakan metode geofisika untuk menngetahui perubahan tahanan jenis lapisan batuan di bawah permukaan tanah dengan cara mengalirkan arus listrik DC(direct current)yang mepunyai tegangan tinggi yang ke dalam tanah. Sehingga dapat kita ketahui bersama bahwa aliran arus listrik di dalam batuan dan mineral dapat di golongkan menjadi tiga macam, yaitu konduksi secara elektronik, konduksi secara elektrolitik, dan konduksi secara dielektrik.
Konduksi secara elektronik. Konduksi ini terjadi jika batuan atau mineral mempunyai banyak elektron bebas sehingga arus listrik di alirkan dalam batuan atau mineral oleh elektron-elektron bebas tersebut. Aliran listrik ini juga di pengaruhi oleh sifat atau karakteristik masing-masing batuan yang di lewatinya. Salah satu sifat atau karakteristik batuan tersebut adalah resistivitas (tahanan jenis) yang menunjukkan kemampuan bahan tersebut untuk menghantarkan arus listrik. Semakin besar nilai resistivitas suatu bahan maka semakin sulit bahan tersebut menghantarkan arus listrik, begitu pula sebaliknya. Resistivitas memiliki pengertian yang berbeda dengan resistansi (hambatan), dimana resistansi tidak hanya bergantung pada bahan tetapi juga bergantung pada faktor geometri atau bentuk bahan tersebut, sedangkan resistivitas tidak bergantung pada faktor geometri. Jika di tinjau suatu silinder dengan panjang L, luas penampang A, dan resistansi R, maka dapat di rumuskan:
 
Di mana secara fisis rumus tersebut dapat di artikan jika panjang silinder konduktor (L) dinaikkan, maka resistansi akan meningkat, dan apabila diameter silinder konduktor diturunkan yang berarti luas penampang (A) berkurang maka resistansi juga meningkat. Di mana ρ adalah resistivitas (tahanan jenis) dalam Ωm. Sedangkan menurut hukum Ohm, resistivitas R dirumuskan :
 
Sehingga didapatkan nilai resistivitas (ρ)
 
namun banyak orang lebih sering menggunakan sifat konduktivitas (σ) batuan yang merupakan kebalikan dari resistivitas (ρ) dengan satuan mhos/m.
 
Di mana J adalah rapat arus (ampere/m 2 ) dan E adalah medan listrik (volt/m).
Konduksi secara elektrolitik. Sebagian besar batuan merupakan konduktor yang buruk dan memiliki resistivitas yang sangat tinggi. Namun pada kenyataannya batuan biasanya bersifat porus dan memiliki pori-pori yang terisi oleh fluida, terutama air. Akibatnya batuan-batuan tersebut menjadi konduktor elektrolitik, di mana konduksi arus listrik dibawa oleh ion-ion elektrolitik dalam air. Konduktivitas dan resistivitas batuan porus bergantung pada volume dan susunan pori-porinya. Konduktivitas akan semakin besar jika kandungan air dalam batuan bertambah banyak, dan sebaliknya resistivitas akan semakin besar jika kandungan air dalam batuan berkurang. Menurut rumus Archie:
 
di mana ρ e adalah resistivitas batuan, φ adalah porositas, S adalah fraksi pori-pori yang berisi air, dan ρ w adalah resistivitas air. Sedangkan a, m, dan n adalah konstanta. m disebut juga faktor sementasi. Untuk nilai n yang sama, schlumberger menyarankan n = 2.
Konduksi secara dielektrik. Konduksi ini terjadi jika batuan atau mineral bersifat dielektrik terhadap aliran arus listrik, artinya batuan atau mineral tersebut mempunyai elektron bebas sedikit, bahkan tidak sama sekali. Elektron dalam batuan berpindah dan berkumpul terpisah dalam inti karena adanya pengaruh medan listrik di luar, sehingga terjadi poliarisasi. Peristiwa ini tergantung pada konduksi dielektrik batuan yang bersangkutan, contoh : mika.
Selengkapnya: Sifat Kelistrikan Batuan

Alterasi dan Mineralogi

Alterasi hidrotermal (Wall rock alteration) pada umummya memiliki penyebaran yang lebih luas dari deposit bijih itu sendiri. Menurut Lindgren (1933) proses hidrotermal merupakan suatu proses perubahan dalam batuan yang diakibatkan naiknya H2O panas ke permukaan, sedangkan Schwartz (1954) memasukkan unsur gas sebagai salah satu medium pengubah batuan tersebut. Pada umumnya intrusi batuan beku selalu diikuti oleh adanya injeksi larutan sisa, yaitu larutan hidrotermal. Larutan ini berdifusi, mengisi, dan mempengaruhi rekahan-rekahan pada dinding batuan. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terbentuknya mineral alterasi dan mineral bijih dalam suatu sistem hidrotermal (Corbett dan Leach, 1988), adalah :
1.   Komposisi kimia dan konsentrasi larutan hidrotermal
Komposisi kimia dan konsentrasi larutan panas yang bergerak, bereaksi dan berdifusi mempunyai pH antara 4-8, mengandung banyak ikatan klorida dan sulfida konsentrasinya encer sehingga memudahkan untuk bergerak.
2.   Sifat dan komposisi batuan samping (host rock)
Komposisi batuan samping sangat berpengaruh terhadap penerimaan bahan larutan hidrotermal sehingga memungkinkan terjadinya alterasi mineral. Batuan yang reaktif adalah batuan yang mengandung karbonat seperti batugamping dan dolomite yang umumnya menghasilkan cebakan Tembaga (Cu), Seng (Zn), Timbal (Pb), dan Mangan (Mn).
3.   Struktur lokal batuan samping
Struktur lokal batuan samping terutama struktur rekahan-rekahan atau celah-celah dan mengakibatkan larutan hidrotermal mudah bergerak, bereaksi dan berdifusi dengan batuan dinding.
            Rekahan pada batuan samping dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu :
A.   Rekahan asli:
a.    Pore space, yaitu pori-pori antar mineral
b.   Crystal lattice, yaitu kisi-kisi antar mineral
c.   Vesicles atau blow holes, yaitu lubang-lubang bekas keluarnya gas   pada saat lava membeku.
d.   Cooling cracks, yaitu rekah kerut akibat kontraksi lava sewaktu membeku
e.   Igneous breccia cavities, yaitu celah-celah seperti pada breksi vulkanik, breksi terobosan, dan fragmen batuan beku.
B.  Rekahan akibat gerakan :
a.  Fissure, yaitu rekahan akibat patahan
b.  Shear zone cavities, yaitu rekahan yang berkumpul pada suatu tempat akibat patahan kecil
c.   Rekahan akibat pengangkatan dan perlipatan
d.   Volcanics pipes, yaitu lubang-lubang akibat letusan gunungapi
e. Tectonic breccias, yaitu rekahan-rekahan pada breksi akibat tektonik yang terjadi
f.   Collapse breccia, yaitu rekahan pada breksi akibat kolaps atau roboh
g.  Solution caves, yaitu celah-celah akibat pelarutan
h.  Rock alteration opening, yaitu pori-pori akibat alterasi
4.   Banyaknya mineral yang mudah terubah
Banyaknya mineral-mineral yang mudah terubah ditentukan oleh derajat ketahanan mineral-mineral terhadap alterasi. Adapun mineral yang mudah terubah adalah mineral silikat-ferromagnesian yang berwarna gelap seperti olivine, piroksen, dan hornblende yang terubah menjadi klorit, epidot, dan leucoxene (alterasi ilmenit). Mineral-mineral plagioklas terutama terubah menjadi serisit, epidot, albit, klino-zoisit, klorit, dan mineral lempung.
5.      Temperatur dan tekanan
Temperatur dan tekanan berpengaruh terhadap kemampuan larutan hidrotennal untuk bergerak, bereaksi dan berdifusi, melarutkan serta membawa bahan-bahan yang akan bereaksi dengan batuan samping. Adapun temperatur proses alterasi hidrotermal berkisar antara 78°C sampai 573°C, yaitu dibawah titik inversi mineral kuarsa.
     
Perubahan mineral pada proses alterasi dapat diketahui bila diamati pada sayatan tipis contoh batuan di bawah mikroskop, namun akan lebih jelas lagi apabila diadakan analisa kimia kuantitatif dari batuan segar dan batuan terubah.
Permeabilitas sangat memungkinkan masuknya larutan hidrotermal kedalam batuan sekitar, terlebih pada batuan yang mengalami breksiasi, retakan-­retakan yang kuat, permeabilitas dapat bertambah dengan naiknya temperatur.
Perubahan mineral tergantung pada proses alterasi yang berlangsung. Perubahan wama bisa menjadi bertambah terang atau memudar, hal ini disebabkan karena melimpahnya mineral berwarna terang, misalnya saja mineral lempung, alunit, kuarsa, dan karbonat, dan perubahan warna bisa juga bertambah gelap (oksidasi) misalnya oksidasi pirit menjadi limonit, hematit, mineral klorit juga dapat menyebabkan warna mineral bertambah gelap.
    Perubahan tekstur akibat penggantian mineral-mineral batuan yang berukuran kasar oleh mineral-mineral ubahan. Besar butir yang ukurannya kasar menjadi halus. Agregat itu tidak menghilangkan tekstur semula karena masih terlihat jejak fenokrisnya.
    Tingkat alterasi yang terjadi secara umum tidak dapat dibedakan secara mudah karena sering terjadi variasi dan beberapa proses perubahan mineral.
Secara umum tekstur dan struktur yang diperlihatkan oleh mineral yang mengalami alterasi hidrotermal, yaitu :
1.      Struktur, diantaranya yaitu :
a.     Banded, yaitu terlihat seperti adanya urutan perlapisan mineral,
b.     Clustriform, perulangan perlapisan mineral,
c.     Crocked (ring structure), yaitu suatu struktur pembungkusan
d.     Comb, yaitu struktur seperti gigi atau sisir,
e.     Colloform, yaitu struktur membulat seperti buah anggur,
f.      Brecciated, yaitu struktur breksi, dan
g.    Replacement, yaitu struktur penggantian mineral oleh mineral lain, yang terdiri dari : (1) Marginal (rim structure) yaitu bagian pinggir mineral mengalami penggantian, (2) Core (atoll structure) yaitu bagian inti mineral mengalami penggantian, (3) Selective yaitu penggantian mineral secara selektif, (4) Relict structure yaitu struktur sisa mineral, dan (4) Diffuse penetration yaitu penggantian mineral secara difusi.
2.      Tekstur, yang terdiri dari
a.    Crystalline, yaitu berupa belahan, kembar, tulang ikan, dendritik, serta zoning, dan
b.    Fibrous, yaitu berupa serat-serat halus. 
Endapan Porfiri Cu-Au
Umumnya endapan ini terbentuk pada kedalaman yang relatif dangkal pada area pendinginan dari lidah intrusi yang bersifat penerobosan. Berdasarkan dari pengamatan lapangan pada sejumlah area endapan sistem porfiri, S.R. Titley dan R.E. Beane (1981) menyimpulkan bahwa geometri intrusi, komposisi intrusi dan hubungan intrusi terhadap pembentukkan endapan porfiri adalah sebagai berikut: Secara umum banyaknya kandungan tembaga akan berhubungan dengan besarnya areal intrusi atau komplek intrusi yang terjadi. Intrusi yang hadir lebih dari satu kali pada tempat yang sama dengan sumber tubuh magma yang berlainan maka antar intrusi tersebut dapat diidentifikasikan berdasarkan massa atau komposisi dari magmanya.Pada komplek intrusi dimana terdapat lebih dari satu kali pengintrusian, maka secara gradasi zona dari batuan beku diorit hingga kuarsa monzonit akan   memperlihatkan   perubahan  tekstur  batuan   dari   fanerik  hingga holokristalin porfiri. Endapan tembaga umumnya akan hadir berasosiasi dengan intrusi yang lebih muda (Creasey, 1966).
            Schwartz (1954) mengatakan bahwa akan terjadi penambahan dan penyebaran zona ubahan, semakin jauh dari pusat hidrotermal tingkat ubahannya akan semakin lemah. Menurut Lowell dan Guilbert (1970) perubahan terjadi secara lateral dan vertikal dari bawah ke atas. Ubahan hidrotermal diartikan sebagai suatu proses yang menyangkut perubahan fase akibat interaksi larutan hidrotermal terhadap batuan yang mengalami penambahan atau pengurangan unsur kimia. Ubahan hidrotermal dapat dibagi kedalam beberapa zona berdasarkan kelompok mineral ubahannya. Menurut Lowell dan Guilbert (1970) zona ubahan dapat dibagi menjadi 4 (empat), yaitu Gambar 1 :
1.   Zona Potassic
Zona ini tidak harus selalu ada. Zona ini dicirikan oleh terbentuknya ortoklas sekunder dan biotit, atau ortoklas-klorit dan ortoklas-biotit-klorit. Zona ini juga sering terdapat serisit. Mineral-mineral sekunder ini menggantikan ortoklas, plagioklas, dan mineral-mineral mafik. Anhidrit merupakan mineral yang menonjol pada zona ini. Feldspar umumnya bersifat lebih sodik. Pada zona ini terdapat veinlet kuarsa yang membentuk slockwork. Zona ini didominasi oleh klorit dan serisit.
2.   Zona Phillic
Nama lain zona alterasi ini adalah serisitisasi dan kelanjutan alterasi argilik. Zona ini dicirikan oleh kumpulan mineral kuarsa-serisit-pirit dan umumnya terdapat sedikit klorit, illit dan rutil. Piropilit ada pada zona ini sedangkan karbonat dan anhidrit sangat jarang. Pada bagian dalam, zona ini didominasi oleh serisit. Terdapatnya mineral lempung pada zona ini sangat penting. Efek serisitisasi pada feldspar dan umumya biotit menghasilkan rutil yang jumlahnya sedikit. Reaksi pertumbuhan silika pada zona ini dengan zona, potasik adalah secara gradasi yang panjangnya puluhan meter. Pembentukan pirit disseminated dan veinlet pirit pada zona ini sangat besar.
3.   Zona Argillic
Zona ini selalu ada pada setiap, pembentukan zona alterasi dan sering disebut sebagai alterasi argilik intermediet. Mineral lempung sangat dominan apabila semakin dekat dengan tubuh bijih. Pirit sangat umum pada zona ini tetapi sangat sedikit dibandingkan dengan zona, filik. Pirit umumnya terdapat secara, veinlet daripada secara disseminated. Feldspar dan biotit tidak begitu berpengaruh atau berubah menjadi klonit.
4.   Zona Propylitic
Zona ini merupakan zona terluar dan selalu ada. Klorit adalah mineral yang umum pada zona ini. Pirit, kalsit, dan epidot berasosiasi dengan mineral mafik (biotit dan homblenda) yang teralterasi sebagian atau seluruhnya menjadi klorit dan karbonat. Plagloklas adalah mineral yang tidak terpengaruh. Zona ini terdapat di sekeliling tubuh batuan yang panjangnya mencapai ratusan meter.
Gambar 1. Pembagian zona alterasi menurut lowell & Guilbert (1967).
Pirajno (1992) membagi tiga pola ubahan yang berdasarkan pada kestabilan mineral primer yang mengalami ubahan, yaitu: (a) pervasif, (b) selektif pervasif, dan (c) tidak pervasif.
           Intensitas ubahan pada mineral primer terkait dengan  kuat atau lemahnya ubahan yang menimpa batuan pada saat proses ubahan berlangsung (Tabel 1.1 dan 1.2).
Tabel 1.1 Pengelompokkan Intensitas Ubahan Hidrotermal (Morrison, 1997)
Intensitas
Keterangan
Tidak berubah
Tidak ada mineral sekunder
Lemah
Kandungan mineral sekunder < 25%
Sedang
Kandungan mineral sekunder berkisar antara 25-75%
Kuat
Kandungan mineral sekunder > 75%
Intens
Seluruh mineral primer terubah (kecuali kuarsa, zircon dan apatit) tetapi tekstur primernya masih terlihat
Total
Seluruh mineral primer terubah (kecuali kuarsa, zircon dan apatit) serta tekstur primernya tidak terlihat lagi
Tabel 1.2 Tipe ubahan mineral silikat menurut Hedenquist dan Wairekei (1978) berdasarkan  pada klasifikasi Meyer dan Hemley (1967), Rose (1970), dan Lowell dan Guilbert (1970)
Tipe Alterasi
Mineral 1
Mineral 2
Suhu
Keterangan
Argilik
Smektit-illit
Sulfida-sulfida
200°C
pH netral, Ca2+/H+ menengah
Serisit (filik)
Serisit (illit)
Sulfida-sulfida, kaolin (minor), oksida
220°C
pH netral, H+ dan K+ menengah
Propilitik
Epidot, klorit
Klorit, illit, Kalsit, Pirit
250°C
pH netral, Ca2+/H+ relatif tinggi
Propilitik dalam
Epidot, Aktinolit
Klorit-illit
300°C
pH netral, Ca2+/H+ relatif tinggi
Potasik
Biotit, K-Feldspar, Magnetit
Epidot-Klorit-Muskovit
320°C
pH netral, K+/H+ relatif tinggi
Argilik lanjut (temperatur rendah)
Kaolin, Alunit
Kaolin, Kristobalit, Kuarsa, Pirit
180°C
pH asam
Argilik Lanjut (Temperatur Tinggi)
Propilit, Diaspor, Andalusit
Kuarsa, Sulfida, Turmalin, Energit, Luzonit
Biasanya > 250°C kecuali Andalusit > 350°C
pH Asam
Menurut Meyer (1967) ubahan silsifikasi adalah salah satu ubahan yang umum terjadi dalam pembentukan endapan bijih sulfida. Mineral ubahan umumnya berupa mineral kuarsa yang berbentuk urat dan merupakan hasil peleburan dari silika yang terdapat pada batuan dinding yang dekat dengan tubuh endapan bijih. Peristiwa ini dapat terbentuk akibat adanya larutan dalam lingkungan kimia yang kuat dan luas, yang dapat berasosiasi dengan zona ubahan argilik, seperti serisit, klorit, potassium silikat atau dengan albitisasi dalam greisen. Mineral silika ini dapat terbentuk setelah mineral serisit terbentuk, yang merupakan hasil ubahan dari ortoklas sebagai akibat dari kegiatan larutan berupa air yang mengandung silika tinggi. Leach (1996) berpendapat bahwa temperatur dan pH fluida merupakan dua faktor utama yang mengontrol sistem hidrothermal, sehingga alterasi dapat dibagi dalam beberapa kelompok mineral, yaitu :
1.   Silika (kuarsa)
Kelompok ini mempunyai ciri pH rendah (<2) dan dapat bervariasi pada temperatur rendah (<100° C), dengan membentuk opalin silika, kristobalit, dan tridimit. Kondisi sangat asam, pada pH tinggi membentuk silika amorf dan pada pH rendah sampai tinggi dapat menghasilkan kuarsa, serta pada pembekuan yang cepat dapat membentuk kalsedon.
2.    Alunite
Kelompok ini mempunyai ciri pH > 2, dengan temperatur yang lebih tinggi dari kelompok silika, terbentuk bersamaan mineral silika, pada temperatur > 350 - 400°c akan berasosiasi dengan andalusit, bedasarkan oksigen dan sulfur isotop, pembentuk mineral dibagi menjadi :
·            Uap panas (steam-heated)
·            Supergen
·            Magmatig
·            Magmatig vein/breccia
Uap Panas (Steam-heated)
Terbentuk pada lingkungan oksidasi, dimana larutan asam sulfida berasal dari gas H2S yang dihasilkan oleh pendidihan sistem hidrothermal pada kedalaman. Ukuran sangat halus, dengan bentuk kristal pseudo-cubic, terbentuk pada kedalaman 1-1.5 km, dimana asam sulfida berkurang dengan menurunnya sistem hidrothermal.
Supergen
Terbentuk karena adanya larutan H2S dari hasil pelapukan dari endapan sulfida masif, kristalisasinya kurang baik, sangat halus dengan bentuk pseudo acicular.
Magmatic
Berasal dari larutan magma dan mempunyai bentuk kristal yang sempurna, umumnya berukuran kasar berbentuk tabular atau lath.like kristal. Umumnya mengisi rekahan semen pada breksi. Terbentuk pada T>> tumbuh bersama muskovit dan / andalusit, bisa berupa kristal yang iregular menutupi kuarsa atau mineral lain dengan membentuk tekstur poikilitik atau dalam bentuk euhedral pseudo-rhumbic kristal.
Magmatic Vein/breccia
Terdapat pada vein dan breccia, terbentuk langsung dari larutan hidrothermal yang kaya akan volatil yang berasal dari larutan yang mengkristal, terbentuk prisma yang radial.
3.   Kaolinit
Berasal dari larutan dengan pH 4, dan terdapat bersamaan dengan alunit group pada pH 4-3, halloysite hasil dari pelapukan supergen atau pada $kondisi T<<, terbentuk pada kedalaman yang rendah dan T 450~250°C, pyrophylite pada T < 200-250°C, dickite terbentuk pada kondisi diantara dua jenis diatas.
4.    Illite
Terbentuk pada pH 5-6, asosiasi dengan kelompok kaolin pada pH 4-5, smektit hadir pada temperatur <100°C-200°C. Illit-smektit pada temperatur 100°C-200°C, illit pada temperatur 200C°-250°C. Kandungan smektit pada illit-smektit dan serisit akan meningkat apabila temperaturnya naik.
5.    Klorit
Pada kondisi mendekati pH netral, klorit akan dominan, dan akan bersama dengan kelompok Illit pada pH 5-6, pada temperatur rendah, berupa interlayer klorit-smektit, dan akan berubah menjadi klorit bila temperatur bertambah.
6.    Kalk-silikat
Terbentuk pada pH netral sampai alkali, pada temperatur rendah terbentuk zeolit-klorit-karbonat, pearmeabilitas sangat memungkinkan masuknya larutan. hidrous zeolit (natrolit,chabazit,mosolit,mordenit,stilbit,heulandite) terbentuk pada temperatur <150-200°C, laumontit (150-250°C) wairakit (200-300°C), epidot dan aktinolit (secondary amphibol) terbentuk pada temperatur tinggi, kristal tidak baik (180°-220°C), kristal baik (>220-250°C), secondary amphibol stabil pada sistem hidrothermal aktif(>300-325°C), biotit (>300-325°C) pada sistem hidrothermal aktif, klinopiroksen (>300°C), garnet (>325-350°C).
7.    Karbonat
  Terbentuk pada pH dan T dengan kisaran lebar, biasa berasosiasi dengan kaolin, illite, klorit, dan fasa calc-silicate, Fe-Mn karbonat(siderit-rodokrosit) biasa dengan kaolin dan illite.
8.    Feldspar
  Biasa berasosiasi dengan fasa klorit dan kalk silika, feldspar sekunder stabil pada pH mendekati netral-alkalin, adularia terbentuk sebagai species dari sekunder feldspar pada temperatur rendah, orthoklas terbnetuk pada T>> lingkungan porfiri.
9.   Sulphate
 Terbentuk pada variasi temperatur dan pH, alunit pada pH (<3-4), anhydrit pH>> dan T> 100-150°C, gypsum terbentuk pada kondisi temperatur rendah, jarosit selain prosuk pelapukan dari mineral sulfida juga bisa terbentuk pada lingkungan yang asam pada kedalaman dangkal.
Selengkapnya: Alterasi dan Mineralogi